Cerita Yang Pendek

Kita ini siapa dan kita ini dimana?

Aku mengenal seorang pemuda, dia adalah seorang santri. Pemuda biasa dan keluarga biasa. Menjadi bagian dari kumpulan orang-orang menengah ke bawah. Bertahun-tahun dan entah sekarang telah berapa tahun dia hidup di tanah pesantren. Hidup seadanya dalam keterbatasannya.
Dia berbeda dengan pemuda yang lain, berbeda dengan santri yang lain. Mungkin satu-satunya kesamaannya hanyalah sama-sama manusia dan sama-sama makan nasi.
Aku memanggilnya Lee Long, pemuda dari Kota Santri. Oh iya, aku lupa mengenalkan diriku. Panggil aku Te Amo, nama penaku, aku adalah penulis muda.
Yah, sekarang aku ingin menulis sebuah cerpen dengan sudut pandang istimewa. Dan aku ingin latar tempat dan waktunya adalah pesantren. Dan disinilah aku, di sebuah pesantren ternama dan besar di salah satu Kota Santri. Semua orang dari nusantara berbondong-bondong datang ingin menyantrikan putra-putrinya.
Kembali ke cerita, kebetulan aku datang ke pesantren ini tepat saat penerimaan santri baru, sibuk dan ramai menjadi bagian untuk hari ini. Berbagai orang dari luar jawa sampai papua datang. Mungkin kalian akan tercengang, sebesar apa pesantren itu. Tapi, aku juga tak menyangka, kesan itu berbeda dari kau mendengar dari cerita orang lain, dengan kau melihatnya sendiri. Di mataku, pesantren itu begitu sederhana dan apa adanya. Santri-santrinya berjalan lalu lalang membawa wadah nasi. Hei, coba kalau kalian kesini, lihatlah tempat sampahnya. Tak akan kalian temukan plastik dan kresek. Sampah tampak jarang. Bersih dan indah, jangankan itu. Kalian tak akan menemukan satupun kendaraan di dalam kompleksnya. Kecuali milik bapak kiai; pengasuh pesantren ini dan juga keluarga beliau.
Hal yang paling menakjubkan juga, saat aku melihat para santri berbaris membentuk jalan tanpa di komando. Kebetulan siang itu sudah masuk waktu sholat dzuhur. Jadi banyak santri berbondong-bondong ke masjid.
Saat itu aku tampak heran, kenapa semua orang menundukkan kepala dan berbaris. Ternyata dari arah gerbang, seorang kakek sedang menaiki sepeda motor dengan pelannya. Dia mengenakan baju hijau batik, kopiah putih dan sarung putih.
Kakek itu tampak berwibawa, entah kenapa aku pun reflek mengikuti para santri, menunduk dan berdiri di antara mereka. Saat kakek itu telah jauh dari pandangan mata, semua santri berjalan seperti biasa menuju masjid.
“Siapa kakek itu, dek?”
Aku bertanya pada salah satu santri.
“Beliau wakil pengasuh, Kiai Afif,”
Aku ber-oh pelan dan mengucapkan terima kasih.
Selepas sholat, aku duduk di emperan masjid. Memandang halaman masjid yang dibanjiri para santri. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh.
“Rencananya, apa yang akan kau tulis, Te Amo?”
Aku kaget, orang itu duduk di sampingku. Menilik wajah dan tubuhnya, mungkin kami seumuran.
“Hei, santailah lihatnya. Kita memang seumuran, guys,”
Lelaki di depanku tertawa lepas. Aku makin kaget, lelaki di depanku bisa membaca pikiranku.
“Sudah jangan pikirkan, perkenalkan aku Lee Long, panggil saja aku begitu, anggap panggilan itu adalah nama penaku,”
Lelaki itu mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan.
“Sekarang, cerita apa yang kau butuhkan, Te Amo?”
Aku diam. Memandang ke depan. Aku juga bingung, cerita apa yang akan aku tulis.
Slow, guys. Waktumu masih banyak. Bagaimana kalau kau tulis kisah cinta saja, bukankah tema cerpenmu harus tanda tanya?
Mataku terbelalak kaget, reflek aku menoleh pada Lee Long. Bagaimana dia tahu? Apa mungkin dia tahu juga....
“Ya, aku tahu kawan. Aku tahu apa alasanmu mengikuti lomba Jejak Publisher. Bukankah kau ingin membuktikan pada calon mertuamu?”
“Sebentar, bagaimana kau tahu tentangku? Siapa kau?”
Bukannya menjawab, dia malah tertawa lepas. Aku heran laki-laki di depanku begitu misteri sekali. Dia beranjak berdiri, menuruni tangga perlahan sambil tertawa. Mau kemana dia? Datang tiba-tiba, pergi juga tiba-tiba.
“Kisah kita sama, mungkin kisahku lebih rumit dari milikmu, Te Amo,” Lee Long mengambil sandalnya, “dan satu lagi, aku mau pergi dan datang kau tidak usah bertanya,”
***
‘Hai sayang, sudah sholat isya?’ pesan centang dua. Tak lama kemudian, gadis yang kucintai langsung membacanya.
‘Sudah sayang. Sayang udah makan?’ aku tertawa, itu pasti pertanyaan pertamanya.
‘Belum, hehe,’
‘Sana makan, nanti sakit perutnya kambuh lagi,’
‘Hahaha, gak akan. Doamu mujarab, kok. Oh iya, kamu dimana, sayang?’
‘Masak doa mulu, emang nanti waktu kita nikah, mas mau dimakanin doa? Ini lagi di rumah, malas keluar mas,’
‘Ya janganlah, sayang. Mati masmu nanti. Oh iya,’
Aku menghela nafas, memandang langit-langit masjid. Bertanya-tanya dalam hati, kenapa kisahku begitu rumit. Saat kami berdua sudah saling mencintai. Kenapa Allah mengujinya begitu berat.
“Hahaha, pertanyaanmu seperti kau gak punya iman, Te Amo. Oh iya, jangan buat dia khawatir dengan kebohonganmu. Bilangnya belum makan, tapi tadi sore beli nasi bungkus di ujung perempatan.”
Reflek aku duduk, laki-laki tadi siang sudah duduk di sampingku. Serius, aku tidak merasakan kehadirannya sama sekali.
“Woi, aku manusialah. Kau saja kawan, yang sedari tadi asik menggerutu dan bengong. Jadinya gak sadar kalau udah ada orang di sampingmu.”
Yah, dia benar.
“Iyalah, benar!”
Serius, semakin lama aku jengkel dengan laki-laki di depanku. Dia selalu bisa membaca isi hatiku dan pikiranku. Dia tahu masa laluku dan tentangku. Sekarang pun dia tahu kalau aku sedang jengkel padanya.
“Bang, sebenarnya abang ini siapa, sih?”
Lee Long diam, cukup lama.
“Bagaimana aku akan menjelaskan siapa aku, Te Amo? Sedang aku saja tidak tahu aku ini siapa?”
EH?
Aku bengong, tidak paham apa yang barusan dia katakan, “m-maksudnya gimana, bang?”
Lee Long menghela nafas.
“Aku tanya padamu, Te Amo. Siapa dirimu?”
“Ya, aku ya aku, bang.”
Dia mulai tertawa. “Bukan begitu, mmm... ok, aku jelaskan.”
“Pertanyaan pertama seorang filsuf adalah ‘siapa aku?’ lalu dicarilah kemana-mana jawaban dari pertanyaan itu. Dan tak terjawab, lantas siapa aku?
“Bagi kebanyakan orang, hanya bagi mereka yang membuang-buang waktu yang akan mencari jwaban dari pertanyaan bodoh itu. Tapi coba kau pikirkan, Te Amo. Kita ini siapa? Kita berasal dari ayah dan ibu kita. Kita siapa?
“Kita adalah sperma yang dibuahi oleh sel telur dan dierami dalam rahim ibu, lantas kita keluar dari kelamin ibu. Pada dasarnya, kita keluar pertama dari hal yang tampak jorok dan berbentuk jorok, masuk ke dalam yang jorok dan keluar dari tempat yang jorok pula. Bukankah kita telah tahu, kalau kita ini hakikatnya hina.
“Akan tetapi, jawaban itu masih seperempat jawaban dari pertanyaan ‘siapa aku?’
“Lalu, coba kau pikir, dimana kita berada sekarang? Kita ada di masjid. Perluas kembali lingkupnya. Masjid ada di pesantren dan pesantren ada di Kota santri, Kota Santri ada di Jawa Timur. Jawa Timur ada di Indonesia dan Indonesia ada di Benua Asia. Benua Asia ada di Bumi. Setelah Bumi ada yang lebih besar lagi, Neptune, Uranus, Saturn, Jupiter dan semacamnya. Dan kita ada di galaksi Bima Sakti. Pertanyaannya, dimana kita? Kita sama saja dengan kutunya kutu,”
Aku tertawa. Benar juga, kita ini siapa dan kita ini dimana?
“Kenapa kau bingung-bingung mencari pertanyaan untuk cerpenmu, tulislah dari pertanyaan dasar kehidupanmu itu. Dan perlu kau ingat, Te Amo. Berhentilah mencintai karena sebuah alasan atau karena. Sebab, saat alasan itu hilang, kau tidak akan setia lagi.”
Aku tercengang, “lalu, apa alasan terbaik bagiku untuk mencintainya?”
Lee Long tertawa. “Sama seperti Qais dan Layla, sama seperti Lee Long dan Shinta. Menjadikan Allah sebagai alasan terbaik kita mencintai, karena sampai kapan pun Dia akan selalu ada,”
Dia beranjak, hendak pergi tiba-tiba lagi. Aku ingin mencegahnya, tapi entah kenapa kaki seperti berat untuk kuangkat.
“Carilah sisa jawabannya sendiri, dan pulanglah, tulis ceritamu. Kirim pada Jejak Publisher. Selama gaya tulisanmu bagus, mungkin kau menjadi yang terbaik,”
Yah, malam itu baru bisa bergerak setengah jam kemudian. Saat sudah bisa bergerak, aku pun segera mencari tahu siapa Lee Long. Tidak ada yang tahu, sampai aku bertanya pada seorang bapak-bapak yang di pos.
Bapak itu tersentak kemudian menangis, “bagaimana kau tahu tentang sahabatku, nak?”
Aku mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang telah terjadi. Lalu aku menceritakan semua yang baru saja aku alami. Bapak itu kembali menangis.
“Nak, apa kau tahu kisah Layla Majnun?”
Aku mengangguk.
“Seperti itu kisah Lee Long, nak. Kisah cinta yang abadi, dan si gadis bernama Shinta. Kini, kuburan mereka bersama. Meski sejak di dunia kebersamaan dan pertemuan mereka sejenak.”
Yah, aku sadar apa yang telah terjadi. Dan malam ini, aku menuliskan semua cerita yang aku alami.
_________________________________________________________________________________


Basmalah

Rintik hujan membasahi ranah kehidupan. Di sebuah pemakaman, seorang gadis sedang menaburkan bunga dan do’a. Berziarah pada makam seseorang yang mengajarkan banyak kebijaksaan hidup. Dialah sang ibu, yang tengah beristirahat dengan tenang.
Di sampingnya, lelaki paruh baya menemani putrinya. Menatap lekat pada anak gadis satu-satunya yang sedang berdoa dengan khidmah. Lelaki itu menghembus nafas pelan. Menatap langit yang masih menjatuhkan butir demi butir air.
Mereka pun berjalan beriringan, menggunakan payung masing-masing. Berjalan sambil sesekali bercanda tawa. Namun, lelaki paruh baya itu terdiam cukup lama. Membuat keheningan yang tidak nyaman pada gadis remaja di sebelahnya.
“Ayah kenapa?” gadis itu menyentuh lengan ayahnya. Khawatir ada sesuatu yang mengganggunya.
Lelaki itu seperti tersadar dari lamunannya, tersenyum halus pada putri semata wayangnya, “tidak, ayah tidak kenapa-napa,”
Jawaban yang melegakan pada putrinya.
“Nak, apa kamu ingin mendengar sebuah kisah?”
Siapa yang mau menolak? Serunya dalam hati, gadis itu pun mengangguk penuh semangat.
“Kisah ini bukan fiksi. Kisah nyata, sebuah kisah percintaan tentang perjuangan dan pengorbanan, tambahkan unik dan lucu,” ayah gadis itu tersenyum geli, sesaat membuat putrinya semakin penasaran.
“Ini kisah ayah sendiri,”
Terbelalak mata gadis itu, dari dulu dia selalu ingin tahu tentang kisah cinta ayahnya. Tapi, kareka malu dan takut membuka luka yang belum kering, ia pun bersabar dan sekaligus meyakinkan pada dirinya sendiri, kalau kisah itu akan terkoak dengan sendirinya.
Hening cukup lama, ayahnya tidak kunjung memulai kisahnya. Padahal mereka berdua sudah sampai lima menit yang lalu di rumah.
Lelaki paruh baya itu berdehem pelan. Ada sorotan ragu dan bingung untuk memulai ceritanya. Lebih tepatnya ia bingung harus memulai dari mana.
Kembali berdehem, kali ini cukup keras, putrinya sampai mengira kalau ayahnya sedang tidak enak badan.
Bismillah! Terdengar gumam kecil dari ayahnya. Pertanda kalau cerita akan dimulai.
“Dulu, nama ayah bukan Abdurrahman. Tapi, Yason Cristiani Pranata,”
Wow! Dalam hatinya, gadis itu berseru tak percaya. Nama ayahnya terdengar keren dan....
“Dan saat itu, ayah adalah seorang Kristen.”
***
Gereja itu terlihat megah dan mewah. Di dalamnya, seorang pemuda sedang duduk sambil menghadap ke arah salib di depannya. Matanya terpejam, dalam hatinya ia curahkan setiap keluh kesah dalam satu hari ini.
“Yesus, bolehkah aku lontarkan satu pertanyaan?” di ujung permohonannya, lelaki itu membuka mata menatap penuh pengharapan dari jawaban Tuhannya.
“Manakah jalan yang harus aku tempuh sebenarnya?” kembali hening. Hanya terdengar suara sapu di halaman Gereja. Lantas pemuda itu berjalan pulang, untuk satu hari ini ia merasa cukup.
Jalanan terasa lengang, kendaraan tidak lagi seramai tadi sore. Pemuda itu menoleh ke arah jam besar di Gereja.
Sudah jam sembilan. Ternyata aku terlalu menikmati sampai melupakan waktu.
Pemuda itu melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan trotoar. Sedikit para pedagang kaki lima yang masih buka. Namun, kakinya tiba-tiba terhenti sejenak. Samar-samar telinganya mendengar suara indah yang sedang mengalun-ngalun lembut.
Aduhai, suara siapakah ini? Begitu indah sampai aku terbuai dan lupa dimana aku berpijak.
Pemuda itu berjalan, mendekati sebuah mushollah yang terletak tepat dipinggir jalan. Semakin dekat, suara indah itu semakin terdengar jelas.
Alunan lagu yang berhenti, membuat langkahnya juga terhenti. Dia tidak segera mengangkat kakinya untuk segera pergi. Malah, ia sedang menunggu.
Ah, apa yang sebenarnya kutunggu? Tapi, aku merasa akan menjadi orang yang paling rugi jika langsung meninggalkan tempat ini.
Saat pikirannya terbang tiada arah, terdengar suara pintu terbuka. Reflek kepala pemuda itu menoleh.
Gadis itu keluar dengan seulas senyum. Namun, senyum itu berubah kaget saat melihat pemuda itu.
“Apa kamu yang berusan ‘bernyanyi’?”
Eh? Gadis itu menatap bingung ke arah pemuda di depannya. Namun, ia segera paham saat setelah melihat rosario di tangan kanan pemuda itu.
“Yang saya lantunkan tadi, bukanlah sebuah lagu. Akan tetapi, firman-firman Tuhan yang disebut Al Quran,” jelas gadis itu, di tambah seulas senyum. Membuat pemuda itu lupa mengedipkan mata.
“Namaku Yason,”
Yason mengulurkan tangan kepada gadis di depannya. Baginya, ini adalah pertama kalinya ia memperkenalkan diri pada seorang gadis.
Jauh dari perkiraan Yason, gadis itu tida menjabat tangannya, malah menangkupkan tangan di dada.
“Nama saya, Basmalah,”
***
Kini, Yason mempunyai rutinitas baru. Setiap hari setelah pulang kerja, dia akan datang ke mushollah. Duduk diserambi sambil menikamati ayat demi ayat yang dialunkan oleh Basmalah.
Bila dulu dia nyaman berlama-lama di geraja. Kini, setiap kali ia datang untuk berdoa di gereja, ia tidak mau melakukannya dengan berlama-lama. Yason takut kalau dirinya terlambat mendengarkan suara Basmalah.
Waktu ke waktu, Yason mulai merasa aneh dengan dirinya. Kemanapun ia melihat, pasti terbayang sosok Basmalah tersenyum di depannya. Hanya di kamar mandi saja dia tidak melihat sosok Basmalah.
18 April
Ketika gelap telah menjadi pengganti cahaya mentari. Tidak kurang dan tidak pernah merasa rasa ini berkurang. Semakin lama, semakin waktu berdetak, rindu ini selalu bertambah padamu Basmalah.
Nasihat yang setiap kali kau lontarkan untuk memperbaiki kesalahanku. Tidak pernah mendatangkan bosan pada diri ini.
Detik bila bertambah akan menjadi menit. Begitulah aku, rindu yang semakin bertambah berubah menjadi cinta dan menjelma menjadi kasih sayang.
Tapi bagaimana? Kembali kepada pertanyaan dasar pada diriku. Kau dan aku jelas bagai putih dan hitam. Aku berbeda denganmu. Tidak hanya berbeda agama, kelamin kita pun juga berbeda. Eh, kalau sama aku gay dong!
Basmalah, kau pernah bilang. Keyakinan tidak dapat dirubah karena sesuatu selain Tuhan. Keyakinan tidak dapat dikokohkan hanya dengan sebuah alasan. Tidak! Namun, keyakinan adalah bukti terkuat yang tertancap pada hati.
Tapi, bagaimana? Haruskah sampai disini saja?
Tuhan, lisanku tidak dapat berkata lagi. Maka dengan tulisan ini aku mengadu segala pada-Mu. Jika boleh aku bertanya, adakah sebuah jalan persimpangan yang membuat kita bertemu? Aku tahu Tuhan. Hidupku dan hidupnya beda jalan beda haluan. Tapi, bila ada sebuah jalan persimpangan yang membuat kita berjalan pada satu tujuan. Aku tidak akan menolak.
***
Aku tunjukkan selembar foto,
“Kau tahu dia?”
Berganti pada yang lain
“Kau tahu dia?”
Berganti antara satu dengan satu yang lain
“Kau tahu dia?”
“Kau tahu dia?”
“Kau tahu dia?”

Lantang suaraku, membahana di kaki langit
“KAU TAHU DIA?”

Air mataku meleleh
Tidak ada yang tahu,
Mereka abai padaku
Mereka menggeleng
Mereka murka
Dan mereka tak menganggapku,

Lantas kaki yang gontai terduduk di serambi bangunan berkubah indah
Terdengar tapak kaki
Mendatangkan ketenangan hati
Aku menoleh tanpa satu tanya
“Aku tahu dia,”
Seulas senyum mematahkan kurung putus asa

“Dimana dia?”

***
Tak dapat dikata. Sudah tiga bulan ini Yason kehilangan Basmalah. Dia bagaikan orang gila yang bertanya-tanya tak tentu arah. Bertanya kepada orang-orang yang tinggal di dekat mushollah, hampir semua jawaban sama. Ada yang menjawab tidak tahu, ada yang menunjukkan sebuah kaligrafi basmalah.
Bertanya pada keluarganya, meraka lantas mencaci Yason tanpa titik koma. Bertanya pada sahabatnya yang muslim, tidak ada respon. Sampai dirinya lelah mencari. Kemudian, datang laki-laki bersurban, mengatakan kalau dia tahu siapa Basmalah.
Yason senang bukan main. Ia pun bertanya dengan antusias keberadaan Basmalah. Si laki-laki bersorban itu tersenyum, menyuruh Yason untuk bersabar.
“Yang terpenting bukan kamu tahu dia ada dimana. Tapi, apa kamu telah mengenalnya?”
Pertanyaan laki-laki itu membuat Yason tercengang. Sejauh ini, dia mengenal Basmalah sebagai perempuan yang baik. Tak lebih.
Bismillahirrahman nirrahim, itulah basmalah. Nama gadis yang kamu cari memiliki arti yang sangat agung, nak. Maka jika kamu tidak mengenal dari namanya, sampai kapanpun kamu tidak akan mengenal gadis yang kamu cari itu,”
“Ajarilah saya! Selama saya bisa mengenalnya lebih jauh, saya akan berusaha,” ucap Yason tanpa ragu sedikitpun.
Laki-laki itu menggeleng.
“Jika kamu belajar hanya untuk mengenal gadis itu, maka akan sia-sia belaka. Carilah sebuah alasan yang haqiqi, dan datangi saya kembali,”
Yason mematung. Tapi dimana? Dimana aku harus mencari alasan itu?
***
Bismillaahir rahmaanirrahiim, dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan yang Maha Penyayang,
Qul huwallah hu ahad, Katakanlah (Muhammad) Allah itu tunggal. Lantas, apakah konsep trinitas adalah tunggal? Rusaklah dunia ini jika Tuhan lebih dari satu. Dan mana ada makhluknya memerangi Tuhan?”
Yason berbicara di atas podium. Kini semenjak dia menjadi seorang mualaf. Namanya bukan lagi Yason Cristiani Pranata. Dia dikenal dengan Abdurrahman. Sang singa podium.
Sudah satu tahun berlalu. Meski cintanya pada gadis bernama Basmalah belum sirna. Dia sudah tidak mengharapkannya lagi. Karena dia sudah tahu, kalau jodoh itu simpel.
Kekasih itu simpel. Kalau dia datang, berarti dia amanah dari Allah untuk kita. Kalau dia menjauh, berarti dia hanya cobaan untuk kita,
Selesai berpidato di acara desa. Abdurrahman undur diri hendak pulang. Ketika hendak masuk ke dalam mobil, seseorang menepuk pundaknya.
“Assalamu’alaikum, Abdurrahman,”
Abdurrahman menoleh ke belakang. Betapa kagetnya dirinya, saat tahu orang yang menguluk salam adalah gurunya. Orang pertama yang mengatakan dia mengenal Basmalah.
“Wa’alaikumsalam, Guru. Bagaimana guru ada disini?”
Laki-laki paruh baya itu tersenyum hangat, “Tidak usah dibahas. Sekarang biar aku yang bertanya padamu. Apa kamu siap bertemu Basmalah?”
***
Abdurrahman memandang ke atas langit. Putrinya sedari tadi menyimak kisah ayahnya. Tidak terasa air mata merembes dari kedua matanya. Dia terharu dan turut bersedih, apalagi saat ayahnya diusir oleh keluarganya karena ayahnya pindah agama.
“Saat itu, ayah baru tahu. Laki-laki yang menjadi guru ayah adalah kakekmu. Ayah ingat sekali hari itu. Ibumu terlihat sangat cantik, dia keluar dari dapur menyuguhkan teh. Sebentar mata kami bertemu. Di mata ibumu, ayah melihat dengan jelas dia begitu rindu pada ayah,
“Kakekmu tidak mau membuang-buang waktu. Saat itu juga dia menikahkan kami. Jelas saja ayah kaget, karena ayah belum menyiapkan mahar. Tapi kakekmu bilang, cucup dengan mengajarkan ibumu arti namanya, itu bisa menjadi mahar,”
Abdurrahman mengakhiri cerita. Dia beranjak berdiri dari taman. Masuk ke dalam rumah. Putrinya menatap punggung ayahnya. Dia pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Baru saja satu langkah dia berjalan, putri Abdurrahman menemukan selembar ketas yang jatuh di dekat pintu.
Hai, kawan lama!
Sesudah istrimu, bagaimana jika aku membunuh putrimu? Kita lihat. Apa kamu akan berhasil menjaganya atau tidak?
20 November. Aku akan menjemput nyawa putrimu.
Gadis itu tercengang. Sekarang 18 November. Dua hari lagi....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sajak Kopi & Sepuntung Rokok

Bacotan